Tahun 2017, murai batu non-ring dihapus dari lomba PBI
Upaya Pelestari Burung Indonesia (PBI) dalam bidang pelestarian tidak mau lagi disebut main-main, atau hanya lips service semata. Hal ini dibuktikan dengan adanya keputusan menghapus kelas murai batu non-ring per Januari 2017, atau dua tahun lagi. Artinya, mulai tahun 2017, PBI hanya membuka kelas murai batu ring atau hasil tangkaran saja. Murai batu non-ring dihapus dari lomba PBI.
Sebelumnya, aturan yang sama sudah diterapkan untuk jenis cucakrawa dan anis kembang. Menurut Ketua Umum PBI Pusat Mr Bagiya Rakhmadi SH, hal ini barulah langkah awal. Pada saatnya nanti, idealnya, PBI hanya menggelar lomba-lomba burung hasil tangkaran saja, yang ditandai adanya ring pada kaki burung.
“Tentu saja semua ini harus dilakukan secara bertahap. Kalau langsung, nanti jadi gejolak. Tapi saya tegaskan, dalam upaya pelesertarian, sesuai dengan nama dari PBI yaitu Pelestari Burung Indonesia, kami serius,” tegas Om Bagiya di sela-sela even Plaza Cup 3 di Semarang, Minggu (18/1).
Kegiatan PBI tidak hanya menggelar lomba saja, tapi juga membina penangkaran, khususnya burung-burung lokal seperti murai batu, kacer, cucakrawa, anis kembang, anis merah, dan lain-lain.
Secara perlahan, setelah jumlah breeder dan anakan siap lomba dianggap sudah memadai, kelas non-ring atau burung tangkapan alam akan dihapus.
Masalah pemberlakukan penghapusan kelas murai batu non-ring juga dibahas secara khusus dalam Rapimnas PBI yang digelar di Plaza Hotel Semarang, Sabtu (17/1) lalu.
Hadir dalam Rapimnas antara lain Mr Yono Plaza (ketua PBI Pengda Jateng-DIY, sekaligus tuan rumah), Hartono Sragen (penasihat PBI), Teguh Surabaya (Bidang Organisasi PBI Pusat), Aay Mulyana Bandung (Pengda Jawa Barat), Triatmoko Lumajang (Pengda Jatim), Wahyu Tangerang (Pengda Jabodetabek, Mr Fajar, Haryono, dan Wahyudi (Pengda Bali), Mr Samuel dan Samsulhadi Jogja (Humas PBI Pusat), serta drh Andre dan Mr Tharom Semarang(Pengda Jateng-DIY).
Rapimnas secara khusus membahas pelaksanaan keputusan di atas, agar sosialisasi dilakukan sejak dini, sehingga pada saatnya tidak mengagetkan. Waktu dua tahun dianggap lebih dari cukup bagi para penggemar murai batu yang saat ini belum memiliki koleksi MB ring untuk mempersiapkan diri, sehingga pada saatnya tetap bisa melombakan murai pada even PBI.
Para penangkar juga diharapkan bisa segera mengantisipasi dengan memperbanyak jumlah indukan, sekaligus meperbaiki materi supaya bisa menghasilkan keturuan yang bagus-bagus pula. Tentu saja mencetak burung bagus tidak sekadar berasal dari keturuan yang baik saja, tetapi juga menyangkut perawatan, termasuk asupan pakannya.
Hakikat pelestarian itu menjaga habitat burung
Sebenarnya pelestarian bukan sekadar mengurus penangkar atau breeder burung di rumah-rumah. “Hakikat pelestarian sesungguhnya adalah menjaga satwa. Dalam kaitan dengan PBI adalah burung-burung lokal, tetap bisa hidup nyaman dan aman dan terus bisa melanjutkan regenerasi di alam atau habitatnya, terbebas dari ancaman, baik karena alam maupun ulah manusia,” tandas Mr Bagiya.
Karena itu, upaya PBI pun bukan sekadar bagaimana murai batu, cucakrawa, kacer, dan lainnya bisa ditangkar, kemudian bisa dilombakan. Yang tak kalah penting bagaimana melepas kembali burung ke alam atau habitat aslinya. Namun melepas saja tidak cukup jika tidak ada peran aktif dari masyarakat sekitar agar bisa menjaga dan memelihara alam tempat burung tersebut bernaung.
Sebagai proyek uji coba, sejak Februari 2014, PBI sudah melepasliarkan anis merah ke hutan lereng Merapi yang termasuk area Taman Nasional Gunung Merapi di wilayah Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Desember 2014, PBI melepasliarkan sejumlah burung kacer. Untuk anis merah, dilaporkan sudah mulai terlihat hasilnya. Beberapa burung dilaporkan mulai beranak pinak.
Sejauh ini, peran masyarakat sangat bagus, terutama dalam menjaga dari ulah tangan jahil seperti pemburu liar, baik yang memakai senapan, ketapel, tulup, pulut, sangkar perangkap, dan pemburu “profesional” yang membawa jaring atau pukat.
Pelepasan burung ke hutan Taman Nasional dianggap ideal, karena peruntukannya sudah dilindungi Undang-Undang untuk tidak diubah. Kepunahan burung-burung dari habitatnya, selain karena perburuan, juga karena kerusakan alam dan perubahan peruntukan, yang membuat ruang gerak burung makin sempit, terjepit, dan tersingkir.
Kerusakan lingkungan, langsung atau tidak langsung, juga karena ulah manusia. Misalnya pemakaian pestisida dan pupuk kimia, sehingga membuat serangga mati. Padahal, serangga adalah pakan alami burung di alam liar.
Kalau serangga sebagai salah satu mata rantai ekosistemnya terputus, tentu kehidupan burung ikut terganggu, karena sumber pakannya berkurang atau bahkan hilang. (Waca)
Sumber : OmKicau.com
bagaimana cara untuk mendapatkan ring pbi untuk murai...???
BalasHapus